Rabu, 28 Mei 2008

KALIMAT TANPA SUBYEK

Bila Anda menerima surat undangan pesta perkawinan, Anda mungkin menjumpai kalimat yang berbunyi sebagai berikut:

Merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi kami apabila Bapak/Ibu/Saudara hadir pada resepsi tersebut.

Boleh jadi, Anda mengira kalimat tadi biasa-biasa saja, tidak bermasalah, apalagi hampir semua surat undangan pesta perkawinan yang Anda terima memuat kalimat seperti itu. Jika pendapat Anda demikian, Anda telah terkecoh oleh kalimat tersebut. Masalahnya, kalimat tersebut bermasalah karena tidak bersubyek.

Kalau kalimat di atas kita analisis, hasilnya:

Merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi kami / apabila

P

Bapak/Ibu/Saudara hadir pada resepsi tersebut.

K

Jelaslah subyek (S) kalimat itu tidak ada. Secara semantik, kalimat tadi teruji dengan pertanyaan “Apa yang merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi kami?” Jawabannya , “Bapak/Ibu/Saudara hadir pada resepsi tersebut”. Karena jawabannya tanpa apabila, penggunaan apabila tidak benar. Kesalahan itu dikuatkan oleh analisis struktural yang lain. Misalnya, kalimat tersebut kita tata kembali sehingga terbentuk kalimat sebagai berikut:

Apabila Bapak/Ibu/Saudara hadir pada resepsi tersebut/merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi kami.

Dari penataan kembali (permutasi) itu tampak jelas kejanggalan tadi. Agar kalimat tersebut berterima, kata sambung apabila ganti dengan bahwa sehingga hasilnya:

Merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi kami / bahwa

P

Bapak/Ibu/Saudara hadir pada resepsi tersebut.

S

Permutasinya:

Bahwa Bapak/Ibu/Saudara hadir pada resepsi tersebut /

S

Merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi kami.

P

Dalam makalah atau karya tulis yang lain sering terdapat pola kalimat yang berbunyi:

(2) Tidak mengherankan apabila mutu pendidikan di Indonesia kurang menggembirakan.

Seperti kalimat (1), kalimat (2) itu pun tidak benar sebab tidak bersubyek. Kejanggalan makin terlihat kalau kalimat tadi kita tata kembali. Perhatikan penataan kembali (permutasi) kalimat di bawah ini!

Apabila mutu pendidikan di Indonesia kurang menggembirakan,

K

tidak mengherankan.

P

Secara semantis, kita dapat bertanya, “Apa yang tidak mengherankan?”. Dari jawaban itu sekali lagi terbukti penggunaan apaila tidak tepat. Karena itu, apabila perlu kita ganti dengan bahwa sehingga kalimat (2) berbunyi seperti di bawah ini.

Tidak mengherankan / bahwa mutu pendidikan di Indonesia kurang

P S

menggembirakan.

Permutasinya:

Bahwa mutu pendidikan di Indonesia kurang menggembirakan

S

/ tidak mengherankan.

P

Kesalahan yang sama tampak pada kalimatdi bawah ini:

(3) Wajar kalau nilai Yen merosot.

Permutasinya:

Kalau nilai Yen merosot / wajar.

K P

Bandingkan kalimat tersebut dengan kalimat berikut

Bahwa nilai Yen merosot / wajar.

S P

Jelaslah penggantian kalau dengan bahwa menghasilkan kalimat yang benar, yang rasional karena bersubyek. Dengan penggantian kalau dengan bahwa, kalimat yang semula berpola P + K atau K + P menjadi P + S atau S + P.

Agar Anda menguasai pola kalimat yang tidak baku itu, di bawah ini disajikan beberapa kalimat yang perlu Anda cermati.

(4) Tidak benar jika ada upaya menyingkirkan Muhammadiyah.

(5) Bohong besar bila masyarakat sepak bola tidak kecewa atas prestasi PSSI di Kualalumpur baru-baru ini.

(6) Pantas kalau harga barang-barang melonjak.

(7) Salah apabila langgam Jawa tidak mengenal kritik.

Tentu saja, penggantian jika, bila, kalau, dan apabila dengan bahwa menghasilkan kalimat yang baku.

Dari pengamatan terbukti pola kalimat yang tidak benar itu tidak sedikit jumlahnya. Boleh dikatakan, pola kalimat P + K atau K + P merupakan salah satu ciri kalimat yang tidak baku. Dibawah ini data lain.

(8) Menjadi kewajiban kita untuk membayar pajak.

(9) Adalah sulit untuk memecahkan masalah itu.

(10) Dengan masuknya listrik ke desa berarti kesejahteraan masyarakat desa meningkat.

(11) Sebagai generasi penerus harus tanggap terhadap kesenjangan sosial.

(12) Diharapkan agar Pemilihan Umum 1997 berlangsung jujur dan adil.

(13) Suatu kesalahan besar untuk meremehkan bahasa daerah.

(14) Bagaimana dengan studi Anda?

(15) Tidak demikian dengan negara-negara berkembang.

Semua pola kalimat di atas berpola P + K kecuali kalimat (10) dan (11) yang berpola K + P. karena kalimat-kalimat di atas tidak bersubyek, Anda perlu menyuntingnya sehingga bersuyek. Suntingan Anda benar bila sama dengan kalimat-kalimat di bawah ini.

(8) Menjadi kewajiban kita / membayar pajak.

P S

Membayar pajak / menjadi kewajiban kita.

S P

(9) Sulit / memecahkan masalah itu.

P S

Memecahkan masalah itu / sulit.

S P

(10) Dengan masuknya listrik ke desa / kesejahteraan masyarakat desa /

K S

meningkat.

P

Masuknya listrik ke desa / berarti kesejahteraan masyarakat desa

S

meningkat.

P

(11) Sebagai generasi penerus / generasi muda / harus tanggap terhadap

K S

kesenjangan sosial.

P

(12) Diharapkan / Pemilihan Umum 1997 / berlangsung jujur adil.

P S P

(13) Suatu kesalahan besar / meremehkan bahasa daerah.

P S

Meremehkan bahasa daerah / suatu kesalahan besar.

S P

(14) Bagaimana / studi Anda?

P S

Studi Anda / bagaimana?

S P

(15) Tidak demikian / negara-negara berkembang.

P S

Negara-negara berkembang / tidak demikian.

S P

Itulah beberapa contoh kalimat yang tidak bersubyek. Masih banyak yang lain. Dari segi nalar (logika), kalimat-kalimat tersebut rancu (kontaminatif). Setidaknya, pikiran yang terkandung dalam kalimat-kalimat terseut kurang jernih. Kalau kalimat-kalimat itu terdapat pada bahasa lisan atau ditulis oleh orang awam, itu wajar, itu biasa-biasa saja. Namun masalahnya menjadi serius dan memilukan karena kalimat-kalimat yang tidak baku itu menghiasi juga karya tulis resmi dan karya tulis ilmiah.

Sebagai penutup, bagaimana pendapat Anda tentang kalimat di bawah ini?

(16) Laporkan bila sopir ngebut!

(17) Diumumkan kepada para mahasiswa untuk segera mengambil KRS.

SAYA UCAPKAN TERIMA KASIH ATAS PERHATIAN ANDA

Kalimat tersebut diucapkan oleh Pak Dipo pada suatu kesempatan. Pada kesempatan lain ia mengucapkan “Atas perhatian Anda, saya ucapkan terima kasih”. Pada kesempatan berikutnya terdengar dari mulut Pak Dipo kalimat “Terima kasih saya ucapkan atas per-hatian Anda”.

Dari ketiga kalimat tersebut tampak bahwa letak suku-suku kalimat (frase) yang terdiri atas saya ucapkan, terima kasih, dan atas perhatian Anda mengalami perubahan. Meskipun demikian, gagasan ketiga kalimat itu tidak berbeda. Bahkan gagasan yang terkandung di dalamnya dapat sampai dengan cepat kepada penerima. Jadi, perubahan letak suku-suku kalimat pada ketiga kalimat tersebut tidak menimbulkan salah tafsir atau gangguan komunikasi.

Perpindahan suku kalimat (frase) yang seperti itu disebut permutasi. Anda dapat juga membatasi pengertian permutasi dengan cara lain. Misalnya, permutasi itu penataan kembali (rekonstruksi) sebuah kalimat atas dasar frase-frasenya.

Marilah kita perhatikan permutasi lain yang terlihat pada contoh di bawah ini

(1) Kepada para pemenang diberikan penghargaan.

Permutasinya:

Kepada para pemenang / penghargaan / diberikan.

Diberikan / kepada para pemenang / penghargaan.

Diberikan / penghargaan / kepada para pemenang.

Penghargaan / kepada para pemenang / diberikan.

Penghargaan / diberikan / kepada para pemenang.

(2) Menurut Sudomo, lulusan SMTA belum siap pakai.

Permutasinya:

Menurut Sudomo, belum siap pakai lulusan SMTA.

Belum siap pakai, menurut Sudomo, lulusan SMTA.

Belum siap pakai lulusan SMTA menurut Sudomo.

Lulusan SMTA belum siap pakai menurut Sudomo.

Lulusan SMTA, menurut Sudomo, belum siap pakai.

Kalimat judul (dengan permutasinya) dan kedua kalimat terakhir (dengan permutasinya), ternyata, kalimat yang baku (gramatikal), karena semua kalimat baku mempunyai kesanggupan untuk dipermutasikan, kita dapat menyimpulkan bahwa kalimat yang baku memperlihatkan pemakaian frase-frase yang dapat dipermutasikan tanpa menimbulkan perubahan makna atau kejanggalan.

Sekarang kita perhatikan kalimat:

(3) Siapa tidak masuk hari ini?

Kalau kita pindahkan frase-frasenya terbentuk kalimat-kalimat:

Tidak masuk / siapa / hari ini?

Tidak masuk / hari ini / siapa?

Siapa / hari ini / tidak masuk?

Hari ini / siapa / tidak masuk?

Hari ini / tidak masuk / siapa?

Kejanggalan kalimat-kalimat tersebut benar-benar terasa setelah kita membandingkannya dengan:

Yang tidak masuk / siapa / hari ini?

Yang tidak masuk / hari ini / siapa?

Siapa / hari ini / yang tidak masuk?

Hari ini / siapa / yang tidak masuk?

Hari ini / yang tidak masuk / siapa?

Kiranya, kelima kalimat terakhir itulah yang betul (baku, gramatikal).

Agar persoalannya menjadi lebih jelas, kita memerlukan lagi data yang lain. Kita ambil saja, misalnya, kalimat:

(4) Tanah ini akan dibangun industri.

Kalau frase-frasenya kita pindahkan, kita akan segera mengetahui bahwa kalimat (4) ini tidak baku. Baiklah, kita perhatikan permutasinya yang berbunyi:

Tanah ini / industri / akan dibangun.

Akan dibangun / tanah ini / industri.

Akan dibangun / industri / tanah ini.

Industri / tanah ini / akan dibangun.

Industri / akan dibangun / tanah ini.

Dari permutasian itu terlihat bahwa gagasan kalimat (4) agak kacau. Hal ini terungkap jika kita bertanya, “Yang akan dibangun tanah ini ataukah industri?” Kejelasan gagasan akan terwujud bila kalimat (4) itu berbunyi “Di tanah ini akan dibangun industri”.

Permutasinya:

Di tanah ini / industri / akan dibangun.

Akan dibangun / di tanah ini / industri.

Akan dibangun / industri / di tanah ini.

Industri / akan dibangun / di tanah ini.

Industri / di tanah ini / akan dibangun.

Data di atas menunjukkan bahwa jika sebuah kalimat terasa janggal setelah mengalami permutasi, kalimat seperti itu bukan kalimat yang baku.

Dengan uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa permutasi dapat mengukur kalimat yang baku dan yang tidak baku.

Sekarang silakan Anda menata kembali kalimat-kalimat:

(5) Sampai kemarin baru empat negara memberikan nama pemain.

(6) Para peserta KB Lestari diberikan penghargaan.

(7) Tak seorang pun meninggal dalam kecelakaan itu.

(8) Selama dua hari ini sudah lima penjahat ditembak.

(9) Menurut berita, hanya bagian kepala tidak ada.

Hasil penataan kembali (permutasi) yang Anda lakukan menunjukkan bahwa kalimat-kalimat tersebut kurang baku. Bandingkan kalimat-kalimat tadi dengan:

(9) Sampai kemarin baru empat negara yang memberikan nama pemain.

(10) Para peserta KB Lestari diberi penghargaan.

(11) Tak seorang pun yang meninggal dalam kecelakaan itu.

(12) Selama dua hari ini sudah lima penjahat yang ditembak.

(13) Menurut berita, hanya bagian kepala yang tidak ada.

Sudah barang tentu, kelima kalimat yang terakhir itulah yang baku.

Anda dapat mencari contoh yang lain, bukan?

FAKTOR PENDUKUNG KEEFEKTIFAN KALIMAT DAN

Faktor pendukung keefektifan kalimat.

Agar kalimat yang disusun dapat diterima dengan baik oleh lawan bicara, secara garis besar, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1) Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar;

2) Penggunaan bahasa Indonesia yang baku;

3) Penggunaan ejaan yang disempurnakan;

1) Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar telah lama didengung-dengungkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Lahirnya konsep bahasa Indonesia yang baik dan benar pada dasarnya tidak terlepas dari konteks pemakaian bahasa yang beragam, seperti bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah yang berlaku dengan demikian, yang dimaksud dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya sesuai dengan situasi pemakaiannya dan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Artinya, situasi pemakaian berkaitan masalah baku dan tidak baku. Jika situasinya resmi, seperti dalam memberi kuliah / pengajaran, berkhotbah, rapat, surat-menyurat resmi, laporan resmi, … bahasa yang benar atau yang baku (menggunakan kaidah) yang digunakan. Sebaliknya, jika situasinya tidak resmi, misalnya di rumah, di pasar, di tempat-tempat rekreasi, … asal bahasa yang digunakan dapat dipahami orang lain, bahasa sudah tergolong baik. Artinya kesalahan ucapan, atau kesalahan pilihan kata, atau struktur kalimat yang salah asal komunikasi masih bisa berjalan, bahasa seseorang sudah tergolong baik.

Berdasarkan hal tersebut, kita memperoleh suatu kejelasan bahwa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia yang baik belum tentu merupakan bahasa Indonesia yang benar, sebaliknya bahasa Indonesia yang benar belum tentu juga merupakan bahasa Indonesia yang baik karena semua hal itu bergantung pada situasi pemakaian dan kaidah-kaidah yang berlaku.

Sebagai contoh, kita tahu bahwa situasi rapat dinas, seminar, atau penulisan karya ilmiah adalah situasi pemakaian bahasa yang resmi. Dalam situasi yang resmi semacam itu, kita dituntut untuk menggunakan bahasa yang mencerminkan sifat keresmian, yaitu bahasa yang baku. Jika dalam situasi semacam itu, kita tidak menggunakan bahasa yang baku, misalnya menggunakan kata-kaya dong, gimana, dibilang, dibikin, udah, ngapain, dan sejenisnya. Bahasa yang digunakan itu dapat dikatakan tidak baik karena tidak sesuai dengan situasi pemakaiannya. Meskipun demikian, dalam struktur seperti: “tadi telah dibilang oleh pemakalah bahwa masalah ini sangat kompleks”. Secara tata bahasa, penempatan kata dibilang benar, tetapi secara morfologis bentukan kata dibilang pun benar, atas dasar kenyataan itu, dapat dikatakan bahwa pemakaian bahasa tersebut benar, tetapi tidak baik sebab dibilang merupakan kata tidak baku, sementara suasana tersebut merupakan suasana yang resmi.


2) Bahasa Baku

Berbicara tentang bahasa baku berarti kita berada pada situasi formal, baik lisan maupun tulis. Situasi formal yang paling mendukung pemakaian dan pembinaan bahasa baku adalah dalam pendidikan. Kaidah bahasa baku tersebut paling lengkap diberikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain. Ragam itu tidak hanya ditelaah dan diberikan, tetapi juga diajarkan disekolah. Apa yang dulu disebut bahasa ‘Melayu Tinggi’ dikenal juga sebagai bahasa sekolah. Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan, bahwa ragam itu memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam itu yang dipakai juga oleh kaum yang berpendidikan dan kemudian menjadi pemuka dalam berbagai bidang kehidupan yang penting. Umumnya, pemuka masyarakat yang berpendidikan terlatih dalam ragam sekolah. Ragam itulah yang dijadikan bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Fungsinya sebagai tolok ukur dalam menghasilkan nama bahasa baku atau bahasa standar baginya. Oleh karena itu, di Indonesia, semua proses pembakuan hendaknya bermula pada ragam bahasa pendidikan dengan berbagai coraknya.

Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Ragam baku mempunyai sifat-sifat sebagai berikut.

a) Kemantapan Dinamis

Ragam bahasa baku memiliki sifat kemantapan dinamis berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku dan standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang memunculkan bentuk perasa, petani, pesuruh, perumus, dan sebagainya dengan taat asas harus dapat menghasilkan bentuk perajin, perusak, petenis, pesepak bola, bukan pengrajin, pengrusak, penenis, penyepak bola, dan lain-lain. Kehomoniman yang timbul akibat penerapan kaidah bukan alasan yang cukup kuat untuk menghalalkan penyimpangan itu. Bahasa mana pun tidak dapat luput dari kehomoniman. Kalau kita berpegang pada sifat mantap, kata pengrajin dan pengrusak tidak dapat diterima. Demikian pula, bentuk-bentuk lepas pantai, lepas tangan, lepas landas merupakan contoh kemantapan bahasa baku.

b) Cendekia

Ragam bahasa baku bersifat cendekia karena ragam baku dipakai pada tempat-tempat resmi. Perwujudan dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa itu sangat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan melalui buku bahasa Indonesia. Penggunaan ragam bahasa yang cendekia oleh pembicara atau penulis dapat memberikan gambaran yang ada dalam otak pendengar atau pembaca. Dalam hal ini, tidak ada penafsiran tertentu terhadap sebuah bentuk bahasa.

c) Seragam

Ragam baku bersifat seragam. Artinya, proses pembakuan adalah proses penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah pencarian titik-titik keseragaman. Pelayan pada pesawat terbang dianjurkan untuk memakai istilah pramugara dan pramugari. Andaikata ada orang yang mengusulkan bahwa pelayan pesawat terbang disebut steward dan stewardes dan penyerapan itu seragam, kata itu menjadi ragam baku. Akan tetapi, kata steward dan stewardes sampai saat ini tidak disepakati untuk dipakai. Pusat Bahasa pernah menganjurkan untuk menggunakan kata sangkil dan mangkus sebagai pengganti kata efektif dan efisien, namun sampai sekarang pemakai bahasa tidak pernah menindaklanjuti pemakaian kedua kata tersebut.

Sebagaimana telah diungkapkan, bahwa bahasa baku/resmi/ standar digunakan pada situasi resmi. Bahasa Indonesia baku mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

a) Memakai ucapan baku

Ucapan baku / benar berkaitan dengan penggunaan bahasa lisan. Sampai sekarang pembakuan pelafalan atau ucapan agak sulit dilakukan. Sebagai acuan, pelafalan yang baik adalah penafsiran yang tidak terpengaruh oleh ucapan-ucapan bahasa daerah. Pada masyarakat Jawa, misalnya muncul bunyi-bunyi sengau seartikulasi pada bunyi-bunyi: b, d, j, dan g. Apabila bunyi-unyi tersebut pada awal nama-nama kota atau tempat, misalnya: mBandung, mBali, nDemak, nJombang, nJepara, ngGarut, ngGombong,… Demikian pula, ucapan pada kata-kata bersuku tertutup/suku mati dengan fonem akhir /b/, /d/, dan /g/, ketiga fonem ini dilafalkan /p/, /t/, dan /k/. Misalnya pada kata: bab, murid, gedebeg, ajeg, bap, murit, gedebek, ajek. Pada masyarakat Bali, ucapan yang bersifat kedaerahan adalah pelafalan fonem (t). Dalam pengucapan kata-kata yang mengandung fonem (t), ujung lidah sebagai artikulator seharusnya menyentuh lengkung kaki gigi depan atas. Jadi, ujung lidah tidak menyentuh langit-langit keras. Ucapkanlah: satu, tante, sate, sabtu, seratus satu,… Demikian pula, ucapan fonem (e) (pelajaran) yang sering diucapkan pelajaran oleh etnis lain merupakan ucapan tidak benar/tidak baku. Ucapan malem, seger, sayur bayem, tivi, supra ik,… merupakan beberapa ucapan tidak baku.

b) Memakai ejaan resmi

bahasa baku memakai ejaan resmi, dalam hal ini Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Penggunakan EYD menyangkut bahasa Indonesia ragam tulis. Masalah penggunaan EYD ini sudah dibahas pada bab sebelumnya.

c) Terbatasnya unsur-unsur bahasa daerah, baik leksikal maupun gramatikal

Unsur-unsur leksikal adalah unsur bahasa yang berupa kata, terutama kata-kata daerah atau kata-kata dalam bahasa gaul yang dapat merusak eksistensi bahasa Indonesia. Kata-kata berikut ini hendaknya dihindari pemakaiannya dalam situasi resmi. Misalnya:

kata daerah seharusnya kata daerah/asing seharusnya

ketemu bertemu; ketawa tertawa

gimana bagaimana; tadian/nantian tadi/nanti,.

situ anda/kamu study/stadi/stade studi

bilang mengatakan success sukses

nggak tidak unit/yunit unit

bikin membuat tv/tivi tv/teve

biarin biarkan energi/enerji/enerkhi energi

kenapa mengapa system/sistim system

entar sebentar dan sebagainya.

Unsur gramatikal adalah unsur yang bersifat ketatabahasaan (pembentukan kata atau kalimat).

Contoh:

Bahasa Indonesia Tidak Baku

Bahasa Indonesia Baku

a. Rumahnya orang itu bagus.

b. Ia benci sama saya.

c. Dik, bapaknya kamu ada?

d. Ayah dari teman saya meninggal tadi.

e. Saya sudah tahu di mana dia dilahirkan.

f. Kerjakanlah tugas itu sebaik mungkin.

a. Rumah orang itu bagus.

b. Ia benci kepada saya.

c. Dik, bapakmu ada?

d. Ayah teman saya meninggal tadi.

e. Saya Sudah tahu tempat kelahiranya.

f. Kerjakanlah tugas itu sebaik-baiknya.

d) Pemakaian fungsi gramatikal (subyek, predikat,…) secara eksplisit dan konsisten.

Dalam pembentukan kalimat, kalau memang diperlukan, subyek, predikat, obyek hendaknya disajikan secara eksplisit/nyata dan ajeg.

Contoh:

Bahasa Indonesia Tidak Baku

Bahasa Indonesia Baku

a. Kepada Bapak Rektor kami silakan.

b. Kampus Undiksha yang megah itu.

c. Penyusunan laporan itu saya dibantu suami.

a. Bapak Rektor kami silakan.

b1. Kampus Undiksha yang megah itu.

b2. Kampus Undiksha yang megah itu dikunjungi menteri.

c. Penyusunan laporan itu saya dibantu suami.

e) Pemakaian konjungsi bahwa atau karena (bila ada) secara eksplisit dan konsisten.

Contoh:

Bahasa Indonesia Tidak Baku

Bahasa Indonesia Baku

a. Paman tidak percaya tanahnya sudah habis terjual.

b. Hari ini dia tidak masuk dia sakit.

c. Mohon jangan ribut di sini ada ujian.

a. Paman tidak percaya bahwa tanahnya sudah habis terjual.

b. Hari ini dia tidak masuk karena sakit.

c. Mohon jangan ribut karena di sini ada ujian.

f) Pemakaian awalan meN- ; di- atau ber- (bila ada) secara eksplisit dan konsisten.

Contoh:

Bahasa Indonesia Tidak Baku

Bahasa Indonesia Baku

a. Anak-anak tamatan SMA banyak kerja di toko.

b. Untuk urusan itu saya tidak mau ambil risiko.

c. Dua orang penduduk lokal rampok tamu asing.

d. Seorang polisi aniaya atasannya.

a. Anak-anak tamatan SMA banyak bekerja di toko.

b. Untuk urusan itu, saya tidak mau mengambil risiko.

c. Dua orang penduduk lokal merampok tamu asing.

d. Seorang polisi dianiaya atasannya.

g) Pemakaian partikel lah, kah, pun (bila ada) secara konsisten.

Contoh:

Bahasa Indonesia Tidak Baku

Bahasa Indonesia Baku

a. Kerjakan tugas itu dengan baik.

b. Berapa harga bensin seliter?

c. Harga BBM naik, harga-harga kebutuhan lain meningkat.

d. Sampai sekarang dia tidak pernah hadir.

a. Kerjakanlah tugas itu dengan baik.

b. Berapakah harga bensin seliter?

c. Harga BBM naik, harga-harga kebutuhan lain pun meningkat.

d. Sampai sekarang pun dia tidak pernah hadir.

h) Pemakaian kata depan, kata sambung secara tepat.

Contoh:

Bahasa Indonesia Tidak Baku

Bahasa Indonesia Baku

a. Di zaman sekarang tidak ada yang tidak mungkin.

b. Hal itu akan saya laporkan sama atasan saya.

c. Cincinnya terbuat daripada emas.

d. Untuk membangun geothermal itu memerlukan puluhan hektar lahan.

a. Pada zaman sekarang tidak ada yang tidak mungkin.

b. Hal itu akan saya laporkan pada atasan saya.

c. Cincinnya terbuat dari emas.

d. Pembangunan geothermal itu memerlukan puluhan hektar lahan.

i) Pemakaian pola: aspek-pelaku-tindakan secara konsisten.

Contoh:

Bahasa Indonesia Tidak Baku

Bahasa Indonesia Baku

a. Prosedur yang benar saya telah lalui.

b. Saya akan cari penduduk baru itu.

c. Pengamatan dia belum lakukan.

d. Permasalahan ini kami akan tutup sampai di sini.

a. Prosedur yang benar telah saya lalui.

(Saya telah melalui prosedur…)

b. Akan saya cari penduduk baru itu.

(Saya akan mencari penduduk…)

c. Pengamatan belum dilakukan.

(Dia belum melakukan pengamatan)

d. Permasalahan ini akan kami tutup sampai di sini.

j) Menghindari pemakaian bentuk-bentuk yang mubazir atau bentuk bersinonim.

Contoh:

para ibu-ibu, banyak orang-orang, para hadirin sekalian, semua rombongan, serangkaian lagu-lagu, hanya…saja, sangat…sekali, kalau seandainya, demi untuk, adalah merupakan, seperti misalnya, dan sebagainya.

Bahasa Indonesia Tidak Baku

Bahasa Indonesia Baku

a. Para hadirin sekalian yang saya hormati.

b. Para ibu-ibu datang ke posyandu bersama balitanya masing-masing.

c. Semua rombongan studi tour UNM tiba di Singaraja.

d. Kalau seandainya saya menjadi bupati, akan saya bangun daerah ini.

e. Ucapannya banyak mengandung kata-kata pedas.

f. Dia pernah datang hanya sekali saja.

g. Jika seandainya dia tidak datang, kita harus berangkat sekarang.

a. Hadirin yang saya hormati.

b. Ibu-ibu datang ke posyandu bersama balitanya masing-masing.

c. Rombongan studi tour UNM tiba di Singaraja.

d. Seandainya (kalau) saya menjadi bupati, akan saya bangun daerah ini.

e. Ucapannya mengandung kata-kata pedas.

f. Dia pernah datang hanya sekali atau Dia pernah datang sekali saja.

g. Jika (seandainya) dia tidak datang, kita harus berangkat sekarang.

k) Menghindari pemakaian kalimat yang bermakna ganda (ambiguitas).

Bahasa Indonesia Tidak Baku

Bahasa Indonesia Baku

a. Semua pegawai baru mengikuti penataran lokal.

b. Anak-anak dilarang tidak boleh merokok.

c. Ibu Hendra sangat mencintai suaminya, saya juga.

a1. Semua pegawai, baru mengikuti penataran lokal.

a2. Semua pegawai baru, mengikuti penataran lokal.

b. Anak-anak dilarang merokok.

c. Ibu Hendra sangat mencintai suaminya, saya juga mencintai suami saya.

l) Memakai konstruksi sintesis.

Contoh:

Bahasa Indonesia Tidak Baku

Bahasa Indonesia Baku

a. Dia punya saudara

b. Dikasih komentar

c. Dibikin bersih

d. Bikin kotor

e. Dia punya harga

a. Saudaranya

b. Dikomentari

c. Diibersihkan

d. Mengotori

e. Harganya

m) Kata-kata yang sering salah pemakaiannya

Kata-kata berikut ini sering digunakan secara salah. Meskipun demikian, kebanyakan orang menganggap, bahwa hal itu bukan kesalahan karena pemakaiannya sudah lazim seperti itu. Inilah disebut dengan membenarkan yang lazim, atau membenarkan yang salah atau salah kaprah; bukan melazimkan yang benar. Dalam pemakaian bahasa, kesalahan tersebut sering terjadi karena ketidaktahuan pemakai bahasa.

Uraian berikut menjelaskan bagaimana kata-kata berikut seharusnya digunakan agar sesuai dengan maknanya.

a. Acuh artinya peduli; diacuhkan artinya dipedulikan, diperhatikan, diindahkan.

1) Ketika saya berjumpa, dia sangat acuh (peduli).

2) Ketika saya tanya, dia acuh tak acuh (tidak peduli).

3) Nasihat kedua orang tuanya sangat diacuhkannya.

b. Dirgahayu berarti panjang umur, selamat selamanya.

4) Dirgahayu Republik Indonesia (bukan dirgahayu HUT RI).

5) Dirgahayu Radio Republik Indonesia.

c. Besok artinya hari setelah hari ini; bukan hari esok yang tidak dapat ditentukan. Itu berarti besok jawa.

6) Besok aku datang ke rumahmu membawa laporan bulan ini. (hari setelah hari ini).

7) Besok, kalau sudah diwisuda undang aku ya! (besok Jawa).

d. Diketemukan (tidak baku), seharusnya ditemukan.

8) Honda yang hilang sudah ditemukan oleh pihak yang berwajib.

9) Selamat jalan, sampai bertemu lagi (bukan…sampai ketemu lagi).

e. Keberatan artinya terlalu berat, kalau banyak muatan; seharusnya berkeberatan.

10) Saya berkeberatan memenuhi permintaan Anda yang aneh itu.

11) Kalau tidak berkeberatan, datanglah pada HUT saya besok sore.

f. Pejabat - Penjabat

Kedua kata tersebut sering dikacaukan pemakaiannya. Pejabat berarti orang yang mempunyai jabatan, sedangkan penjabat adalah orang yang pada suatu waktu menjabat (sifatnya sementara). Jadi, penjabat berarti pejabat sementara.

12) Pejabat Rektor IKIPN Singaraja periode 2001-2005 adalah Prof. Dr. Nym. Dantes.

13) Gubernur daerah itu sedang berduka, karena itu penjabat gubernur diutus untuk mewakili rapat di pusat.

g. Pengacara dan Pembawa Acara

Pengacara berarti penasihat hukum, pembela perkara di pengadilan. Jika yang dimaksud adalah protokol, maka sebutannya adalah pembawa acara atau pewara.

14) Pewara itu mempersilakan rektor untuk untuk memberikan sambutan.

15) Sekarang banyak pengacara yang materialistis.

h. Semena-mena dan Sewenang-wenang

Keduanya sering dikacaukan pemakaiannya, padahal kedua kata tersebut mempunyai arti yang berlawanan. Sewenang-wenang/sesuka hati, berarti tidak semena-mena.

16) Para teroris bom Bali diperlakukan secara semena-mena (artinya, diperlakukan dengan cara baik).

17) Pemerintahan Saddam Husein sangat sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

i. Bangsa dan Rakyat.

Bangsa hanya satu dalam sebuah negara atau pemerintahan, sedangkan rakyat ratusan juta jiwa jumlahnya.

18) Semoga seluruh bangsa Indonesia selalu jaya dan bersatu (seluruh bangsa, berarti di Indonesia ada banyak bangsa).

19) Seluruh rakyat Indonesia diharapkan bersatu padu dan bahu-membahu dalam membangun.

j. Ditugasi dan Ditugaskan

Kata ditugasi digunakan jika tugas yang harus kita lakukan datang (dibawakan) kepada kita, sedangkan kata ditugaskan digunakan jika yang bergerak menuju ke tempat tugas itu.

20) Para Kejur ditugasi menangani perpindahan mahasiswa antarjurusan.

21) Kami bertiga ditugaskan untuk magang BIPA di Yogyakarta.

k. Mengajar dan Mengajarkan

22) Ibu Rahayu mengajar murid-murid kelas 9.

23) Pak Made Buda mengajarkan bahasa Inggris di kelas 10 SMA Lab.

l. Gaji dan Gajih

Gaji artinya upaya upah kerja yang dibayarkan dalam waktu yang tetap, sedangkan gajih artinya lemak atau gemuk (Jawa).

24) Gaji pegawai negeri di seluruh tanah air standarnya sama.

25) Dokter melarangnya makan makanan yang bergajih.

m. Memenangkan dan Memenangi

Memenangkan artinya ‘membuat jadi menang’, sedangkan memenangi artinya ‘menang di atau menang pada’. Perhatikan contoh berikut!

26) Teknik yang serba tepatlah yang memenangkan Susi dalam pertandingan itu.

27) Susi memenangi pertandingan itu. (bukan: Susi memenangkan pertandingan itu).

n. Waris, Warisan, Mewarisi, Mewariskan, dan Pewaris

Waris berarti ’orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal’.

28) Dia satu-satunya waris di keluarganya.

Warisan berarti ‘harta pusaka peninggalan’.

29) Warisan itu telah diserahkan kepada yang berhak menerimanya.

Mewarisi berarti ‘mendapatkan pusaka (peninggalan) dari …’

30) Tidak ada yang berhak mewarisi harta benda itu selain anak cucunya.

Mewariskan berarti ‘memberi pusaka (peninggalan) kepada …’

31) Saya akan mewariskan semua harta benda ini kepada Raminra.

Pewaris berarti ‘yang memberi pusaka (peninggalan)’

32) Panglima Besar Sudirman adalah pewaris perjuangan, melawan penjajahan Belanda, bagi bangsa Indonesia.

o. Menanyakan dan Mempertanyakan

Menanyakan berarti ‘meminta keterangan tentang sesuatu’, sedangkan mempertanyakan berarti ‘mempersoalkan’ atau menjadikan sesuatu sebagai bahan bertanya-tanya’. Perhatikan contoh kalimat berikut!

33) Peserta itu menanyakan bantuan dana yang digunakan pemerintah.

34) Masyarakat mempertanyakan keberadaan pedagang kaki lima di lingkungannya.